Story of Day– Hari liputan yang menggembirakan setelah mendapat wejangan positif dari komandan media, saya bisa bertatap muka dengan salah satu calon walikota yang amat menjemukan dan dua calon walikota yang ada sungguh-sungguh menjemukan. Tapi tak mengapa, terpenting ialah saya dapat melancarkan pertanyaan soal kebobrokan visi misi mereka terhadap kualitas lingkungan di kota kecil yang sombong ini.
Selama lima tahun ke depan jika terpilih, ibu-ibua atau tepatnya nenek-nenek itulah yang akan memimpin kebijakan publik bagi keberlangsungan kota kecil yang sombong itu, kota kecil yang sombong adalah kota yang jauh dari kata maju tapi orang-orangnya enggan peduli terhadap ilmu kemajuan zaman dan membanggakan kebobrokan yang ada.
Dari teman-teman saya saja dan padahal mereka mahasiswa tapi mereka lebih peduli pembangunan luas hiburan malam daripada ruang terbuka hijau publik bersarana olahraga di tiap kelurahan atau minimal di tiap kecamatan, sungguh mereka tidak peduli karena yang mereka peduli hanya dugem dan pesta seks bebas.
Salah satu keresahan dan kegelisahan yang selama ini bergelayut di perasaan dan benak saya inilah yang menjadi cikal bakal mengapa harus meliput soal masalah lingkungan dan sosial di dalam kota kecil yang sombong ini. Tambah pula betapa begok calon walikota yang sudah pensiun dari kedinasan ini, calon walikota yang KPK pernah memeriksanya, sungguh betapa begok di aini karena tidak bisa menjawab pertanyaan saya.
“Bunda, apakah bunda sudah merancang garis besar pembangunan revitalisasi lingkungan dan kualitas udara di kota ini sehingga masyarakat kelas bawah merasa mendapat perhatian lebih dari Anda?” Tanya saya.
“Eh kamu, kamu dari media mana ini? Media sebelah ya, sengaja mau cari-cari kesalahan,” jawabnya yang sangat enggak nyambung, padahal saya baru pertama liputan politik.
Mendengar jawab itu otomatis saya langsung mundur dan di depan keramaian yang mengurumuninya karena mungkin para pewarta ini berharap uang seratus dua ratus ribu atau berharap nanti kalau nenek-nenek ini terpilih akan mendapat Kerjasama kemediaan— saya di hadapan mereka terbengong beberapa saat karena tahu betapa bodoh seorang calon walikota yang ada saat ini, yang ada untuk memimpin kota ini ke depan.
Saya kemudian langsung ke parkiran dan bergegas pulang, tapi saat baru hendak menyalakan motor ada seorang laki-laki yang tubuhnya lumayan tinggi besar serta berambut cepat menghampiri saya.
“Mba dari media mana? Tolong rekaman video tadi dihapus,” ujarnya seraya menyalami saya dan di tangannya ada gumpalan kertas yang karena pengalaman, saya meyakini gumpalan kertas itu adalah uang.
“Em, saya tidak merekam mas, audio juga saya enggak merekam. Saya dari media digital, nanti mas cek aja kalo enggak percaya,” kata saya yang lekas mengantongi gumpalan kertas itu.
“Oke, saya cek hp mba kalo gitu,” katanya, dan saya yang telah mengambil uang itu kemudian memberikan hp saya.
“Oke aman mba, makasi kerjasamanya,” kata dia.
Jelas saya mengambil uang darinya yang setelah di kantor baru saya ketahui bahwa gumpalan kertas yang saya yakini ialah uang itu ternyata berjumlah dua ratus lima puluh ribu rupiah, nominal yang cukup untuk hidup sendiri selama dua atau tiga hari.
Jelas saya berkenan mengambil uang itu, saya anggap sebagai uang transport karena meliput kegiatan kampanyenya tapi sungguh tidak akan mengurangi nilai kritis saya terhadap kegoblokan calon walikota itu dan tidak akan mengurangi nilai kritis saya terhadap persoalan lingkungan dan sosial di kota kecil yang sombong ini.
Kota yang sebetul-betulnya memerlukan sosok pemimpin yang berani untuk memotong anggaran demi pembangunan yang manfaatnya terasa hingga kalangan kelas bawah, bukan pembangunan yang manfaatnya hanya untuk mereka dari kalangan kelas menengah atas.
Sungguh tidak adil hidup di dalam politik praktis seperti ini, sebenarnya kota ini masih menyimpan tokoh-tokoh politik berkualitas yang pendidikan politiknya kaya dari pengalaman maupun literatur namun karena politik praktis yang mengandalkan kekuatan modal, maka ya jadinya itu— calon yang ada berasal dari nenek-nenek yang tidak mengerti pembangunan untuk kalangan kelas bawah sehingga tidak akan ada keadilan pembangunan dalam era politik praktis ini.
“Apa sulitnya mengalokasikan anggaran untuk mendapat tanah yang cukup luas guna membangun ruang terbuka hijau publik bersarana olahraga yang peruntukannya bagi anak muda dalam menyongsong Indonesia Emas,” batinku sembari menyeduh minuman hangat. ***