Bandar Lampung, April 2025 — Meskipun pemerintah Provinsi Lampung menargetkan pertumbuhan ekonomi optimis di angka 4,9 hingga 5,3 persen, kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi yang jauh dari harapan. Banyak pelaku usaha kecil mengaku masih terseok-seok, sementara daya beli masyarakat terus menurun seiring naiknya harga kebutuhan pokok.
Sejumlah faktor menjadi penyebab utama sulitnya ekonomi Lampung pulih pada tahun 2025. Pertama, ketergantungan Lampung pada sektor pertanian yang kembali terpukul akibat cuaca ekstrem dan ketidakstabilan harga komoditas seperti kopi, karet, dan singkong. Petani mengeluhkan hasil panen yang merosot, ditambah biaya produksi yang kian membengkak.
Kedua, investasi swasta yang tak kunjung menggeliat. Banyak investor enggan menanamkan modal akibat lemahnya infrastruktur dan birokrasi yang dianggap belum ramah usaha. Hal ini berdampak langsung pada terbatasnya penciptaan lapangan kerja baru, memicu peningkatan angka pengangguran terbuka di beberapa kabupaten.
Selain itu, meski Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung naik sebesar 6,5 persen, lonjakan harga barang dan jasa justru menyerap seluruh kenaikan tersebut, membuat masyarakat tetap kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. “Gaji naik, tapi harga sembako dan transportasi ikut melonjak. Ujung-ujungnya tetap tekor,” ujar Rini, seorang pekerja ritel di Bandar Lampung.
Tak hanya masyarakat miskin yang merasakan dampak, kalangan kelas menengah pun mulai berhati-hati dalam belanja. Indeks Keyakinan Konsumen yang sempat tinggi pada awal tahun, kini mulai melandai seiring kekhawatiran terhadap prospek ekonomi global yang tidak menentu.
Pengamat ekonomi dari Universitas Lampung menilai bahwa tanpa reformasi struktural dan akselerasi belanja pemerintah yang tepat sasaran, ekonomi Lampung bisa kembali stagnan, bahkan terperosok dalam krisis sosial. “Pertumbuhan tidak cukup hanya diukur dari angka, tapi dari kesejahteraan nyata yang dirasakan rakyat,” tegasnya.